Prof Anies dan Gus Imin adalah Harapan Kita

Untuk meraih kemenangan, Anies harus didampingi cawapres yang berkepribadian matang, elektabilitasnya tinggi dan organisatoris

banner 468x60

Jakontime.com — Banyak yang kaget ketika Anies Baswedan, Surya Paloh dan Jusuf Kalla lebih memilih Gus Imin daripada AHY. Padahal beberapa bulan ini terlihat terus kemesraan Anies dan AHY.

AHY adalah harga mati partai Demokrat. Partai ini mau bergabung dengan koalisi Perubahan, karena AHY kemungkinan besar jadi cawapres. Itu keinginan Demokrat dalam koalisi.

Beda dengan Nasdem. Ia berkeinginan lain. Elektabilitas partai Demokrat yang rendah, hanya 7,77 persen dan karakter AHY yang belum matang, menjadi pemikiran tersendiri bagi Nasdem. Karena itu Nasdem selalu menunda-nunda untuk deklarasi Anies-AHY.

Dibalik layar Surya Paloh dan Jusuf Kalla juga terus berembuk siapa pasangan yang pas untuk Anies. Karena untuk meraih kemenangan, Anies harus didampingi dengan cawapres yang berkepribadian matang, elektabilitasnya tinggi dan organisatoris.

Muhaimin Iskandar dan Khofifah menjadi incaran. Khofifah, mempunyai pengalaman organisasi yang mumpuni dan Muhaimin begitu juga. Muhaimin diincar karena ia pemimpin partai yang berhasil meraih suara 9,6 persen dalam pemilu 2019. Bandingkan dengan Demokrat yang meraih suara 7,7 persen. Itupun karena pemilih kemungkinan besar memilih faktor SBY di Demokrat, daripada faktor AHY.

Gus Imin adalah pemimpin yang ‘otentik’. Ia lahir 24 September 1966 di Jombang. Ia pernah menjadi Ketua Korps Mahasiswa Jurusan Ilmu Sosial Yogyakarta, Ketua PB PMII dan Ketua Umum PKB. Gayanya yang santun, pandai bergaul dan kocak membuat para kiyai NU di PKB suka kepadanya. Ia mirip Gus Dur. Cuma kalah ‘intelektual sedikit’ dari Gus Dur.

Pemimpin PKB ini sarjana mudanya diselesaikan di UGM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Ia menyelesaikan masternya di UI bidang komunikasi dan mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Fisip Unair. Gus Imin adalah keturunan keluarga Pondok Pesantren Manbaul Ma’arif, Jombang, Jawa Timur.

Yang disorot masyarakat kepada Gus Imin adalah kasus “kardus durian”. Yaitu kasus korupsi soal suap pengucuran Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2011. Saat itu dua pejabat di Kemnakertrans ditangkap KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT). Saat itu Muhaimin menjadi Menakertrans. Dalam penangkapan itu, KPK menyita uang senilai Rp 1,5 miliar yang disimpan dalam kardus durian.

Intinya setelah dilakukan pengadilan, seorang saksi mengaku bahwa ada keterlibatan Muhaimin disitu. Gus Imin yang dihadirkan sebagai saksi membantahnya. Ia menyatakan tidak tahu menahu soal itu. Pengadilan (KPK) pun saat itu tidak bisa menjadikan Muhaimin sebagai tersangka, karena tidak ada bukti yang cukup untuk hal itu.

Tentu ketika menetapkan Gus Imin, Anies, Paloh dan Jusuf Kalla tidak ngawur. Semua aspek dipertimbangkan. Termasuk kasus hukum yang pernah menimpa Muhaimin. Seorang menteri menjadi saksi dalam suatu perkara adalah hal biasa. Zulkifli Hasan, Airlangga Hartarto, Yusril, MS Kaban dan lain-lain pernah menjadi saksi. Bahkan Anies sendiri pernah dipanggil KPK untuk ‘kasus Formula E’.

Yang jelas, Anies kini telah menetapkan pasangannya Muhaimin. Pasangan ini seperti mempersatukan keluarga Masyumi dan NU. Anies dari keluarga Masyumi dan Muhaimin dari keluarga NU. Dalam sejarah politik di tanah air, NU pernah keluar dari Masyumi tahun 1952. Setelah tujuh tahun mereka bersatu dalam Masyumi, sejak 1945.

Makanya, melihat pasangan yang menarik ini PKS gembira mengucapkan ahlan wa sahlan. PKS mengaku akan tetap mendukung Anies, meski membawa nama Gus Imin dalam majelis syura. Nampaknya PKS ingin dalam koalisi itu dibicarakan dengan tenang dan tidak buru-buru sebagaimana terjadi kemarin. Mungkin PKS ingin memberi pelajaran kepada Surya Paloh agar tidak terlalu dominan dalam koalisi. PKS ingin kesetaraan dalam koalisi perubahan itu.

Banyak yang menyambut gembira pasangan Amin, Anies-Muhaimin ini. Apalagi deklarasi di Surabaya, Jawa Timur kemarin dilakukan di Hotel Yamato. Hotel itu juga bernama Hotel Majapahit. Hotel ini adalah hotel bersejarah karena merupakan tempat terjadinya peristiwa bersejarah berupa perobekan bendera Belanda oleh arek-arek Surabaya pada 19 September 1945. Warna biru pada bendera Belanda saat itu dirobek oleh seorang pemuda Surabaya yang bernama Koesno Wibowo, sehingga tinggal warna Merah Putih.

Semangat kepahlawanan inilah yang ingin ditanamkan pasangan ini. Semangat berdiri sama tegak dengan negara-negara lain. Bukan semangat mengemis pada negara-negara besar seperti yang terjadi pada pemerintahan saat ini.

Semangat menjadikan negeri ini adil dan makmur. Semangat untuk membuat negeri ini menjadi negeri demokrasi yang menjadi teladan bagi negara-negara lain. Semangat menjadi negara yang mengayomi, tidak menzalimi rakyatnya sendiri, baik Muslim maupun non Muslim.

Itu harapan banyak masyarakat. Kita berharap, tapi takdir Allah yang menentukan siapa yang terbaik untuk menjadi pemimpin bangsa yang mayoritas Islam ini. Wallahu azizun hakim. (*)

*Penulis: Nuim Hidayat (Direktur Forum Studi Sosial Politik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *