Oleh: Nadeem
(Mantan Marbot Masjid)
“Kepemimpinan adalah mengajukan pertanyaan yang tepat, bukan memberikan jawaban yang salah.” – Peter Drucker
Penting bagi seorang pemimpin memiliki kecakapan berpikir, intelektualitas, kemampuan manajerial, moral dan etika, serta integritas. Pemimpin juga harus memiliki kecerdasan dan kecakapan berbicara (public speaking). Terlebih menjadi pemimpin negara.
Dari kemampuannya berbicara, baik saat pidato maupun saat menyampaikan pendapat dan saat memberikan jawaban, akan nampak intelektualitas dan kecakapan berpikir seorang pemimpin. Selain itu, moral dan etika yang dimiliki seorang pemimpin juga bisa diperhatikan dari ucapannya.
Ucapan maupun pidato seorang pemimpin negara akan selalu dinantikan oleh rakyatnya. Bahkan, akan terus dikenang oleh rakyatnya, sepanjang masa.
Kita tentu ingat pidato monumental Presiden AS ke-35, John F. Kennedy, “Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu.” Yang bahkan sampai hari ini dipakai oleh banyak orang di seluruh dunia. Atau pidato heroik yang tak kalah monumentalnya dari Bung Karno, Presiden RI pertama, “Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan ku cabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan ku guncang dunia.” Yang semangatnya masih kita rasakan hingga hari ini.
Intelektualitas, moral dan etika, serta kemampuan public speaking mutlak menjadi kekuatan bagi seorang pemimpin. Hal itu sekaligus menjadi ciri khas bagi dirinya.
Pemimpin seperti Bung Karno dan Bung Tomo mampu membakar semangat rakyat dan para pejuang. Begitu pun tokoh-tokoh seperti Nelson Mandela, Malcolm X, Marthin Luther King, Fidel Castro, Che Guevara, Barack Obama, bahkan Adolf Hitler sekalipun, memiliki gaya public speaking yang khas.
Sebailknya, pemimpin yang tidak memiliki intelektualitas, kurang peka dalam memahami masalah, serta tak punya kemampuan public speaking akan cenderung utopis, absurd, dan tak substantif dalam berbicara atau memberikan jawaban saat ditanya –terutama oleh wartawan. Yang keluar dari mulutnya justru jawaban yang bikin bingung si penanya, lebih banyak mengucapkan “apa”, “yang mana”, “anu”, dan “nganu”. Tak jarang hanya mengeluarkan celotehan maupun menampilkan gestur tubuh dan mimik muka biar tampak lucu. Kadang hanya menjawab, “aku heran”, “aku kaget”, “aku bingung”, tanpa memberikan penjelasan yang sesuai dengan pertanyaan yang dilontarkan.
Lebih celakanya lagi, saat menjawab pertanyaan, pemimpin tersebut malah melemparkan tanggung jawabnya kepada orang lain: ke bawahannya juga ke rakyat. Ketika ditanya soal permasalahan yang dihadapi oleh pemerintahannya atau oleh negaranya, yang keluar dari mulutnya justru jawaban; “bukan saya”, dan “Yo ndak tau kok tanya saya” alias YNTKTS.
Pemimpin seperti ini yang oleh Bernard M. Bass, psikolog Amerika yang mempelajari perilaku organisasi dan kepemimpinan, disebut sebagai Laissez-faire atau pemimpin delegatif. Yaitu, perilaku para pemimpin untuk menghindari mengambil keputusan atau melepaskan tanggung jawab yang harusnya ia emban. Oleh Bass, pemimpin seperti itu dimasukkan dalam golongan kepemimpinan transaksional –Bass membagi tipe pemimpin dalam dua golongan: Transformasional dan Transaksional.
Pemimpin seperti ini yang condong memberi janji dan imbalan untuk kinerja yang baik atau ancaman dan hukuman untuk kinerja yang buruk kepada bawahan. Menurut Bass, pemimpin seperti ini sangat jarang memandu dan membina, lebih kebebasan mutlak bagi anggota timnya dalam proses pengambilan keputusan.
Socrates pernah mengkritik demokrasi Athena karena memungkinkan orang yang tidak berpengetahuan menjadi pemimpin. Dia memandang demokrasi Athena sebagai sistem yang membiarkan orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan untuk menentukan nasib negara. Sistem ini, menurutnya, hanya akan melahirkan pemimpin populis dan transaksional. Dan karenanya akan mendapatkan elektabilitas yang tinggi. Ia khawatir bahwa tanpa pemahaman yang benar tentang apa yang diperlukan untuk memimpin, orang mungkin memilih pemimpin yang tidak kompeten atau bahkan berbahaya.
Dengan sistem ini, menurut Socrates, pemimpin yang terpilih bukanlah orang-orang terbaik, melainkan mereka yang pandai menarik simpati publik, dengan berbagai macam cara. Mereka dipilih bukan berdasarkan kapasitas, melainkan karena kemampuan mereka untuk memanipulasi opini publik dengan janji-janji kosong. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan sering kali hanya bersifat sementara dan tidak mempertimbangkan kepentingan jangka panjang. Pun juga selama menjadi pemimpin, ia hanya akan melulu mengurusi politik dan kekuasaannya, kekuasaan keluarganya, anak-anaknya, menantunya, pendukungnya, dan orang-orang terdekatnya.
Padahal, pemimpin negara harus memahami fungsinya sebagai pemimpin, dan alasan kenapa dia dipilih menjadi pemimpin. Pemimpin lebih dari sekadar memberi instruksi dan perintah. Juga bagaimana mendengarkan, memahami, dan memotivasi mereka yang dipimpinnya.
Karena, kepemimpinan bukan hanya tentang jabatan atau kekuasaan; ini tentang kemampuan untuk mempengaruhi, memotivasi, dan mengarahkan orang lain menuju tujuan bersama.
Tujuan bersama di sini dimaksud adalah tujuan utama bernegara, yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945, pada alinea ke 4: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Pemerintahan baru telah dilantik, pada hari Ahad kemarin, 20 Oktober 2024. Prabowo Subianto sebagai Presiden dan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakilnya. Para menteri serta pemimpin lembaga untuk membantu melaksanakan tugas pemerintahannya pun sudah dipilih dan dilantik, pada hari Seninnya, 21 Oktober 2024. Kita ucapkan: Selamat Bertugas.
Semoga, pemimpin yang baru ini bisa menghadirkan pemerintahan yang kompeten dan bersih dari korupsi. Dan, benar-benar memahami fungsinya sebagai pemimpin, dan tahu tentang tujuan utama bernegara sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Sehingga bisa menjawab semua tantangan dan permasalahan bangsa ini. Jawaban yang ditunggu-tunggu oleh rakyat Indonesia. Jawaban yang bisa membuat rakyat dengan berani mengucapkan: Selamat Tinggal YNTKTS.
Untuk kemudian membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar, adil dan makmur, maju, kuat dan berdaulat.
Semoga. []