Jakontime.com — Di saat penasihat panitia Kongres Pemuda II, Mr. Sunario tengah berpidato dan memberikan pemaparan dari makalah yang berjudul “Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia” di depan peserta kongres Pemuda, Mohammad Yamin, seorang pemuda dari Jong Sumatranen Bond malah asik ngobrol bisik-bisik dengan Soegondo Djojopoespito, pemuda anggota Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang sekaligus menjadi ketua panita Kongres Pemuda II tersebut.
“Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie” itu salah satu kalimat Yamin sampaikan kepada Soegondo. Kalimat yang kemudian dialih-bahasakan ke bahasa Indonesia oleh banyak orang menjadi “Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini”.
Saya kurang tahu pasti, apakah benar itu maknanya atau bukan. Karena saya tidak mengerti bahasa Belanda. Saya hanya menyadurnya saja dari banyak media yang menuliskannya begitu. Seperti tidak mengertinya saya tentang: Apa alasannya dan kenapa Yamin, saat itu, ngomong atau ngobrol ke Soegondo yang sama-sama orang Indonesia pakai Belanda?
Kalimat obrolan yang konon kemudian dilanjutkan dengan sodoran secarik kertas oleh Yamin, hasil coretan tulisan tangannya kepada Soegondo, yang kronologisnya entah, saya kurang tau seperti apa, hingga kemudian menjadi rumusan final, yang dibacakan Soegondo di depan peserta Kongres Pemuda II, pada 28 Oktober 1928 di rumah milik Sie Kong Lian yang berada di Jalan Kramat Raya 106 sebagai tempat acara Kongres Pemuda II dilaksanakan. Kemudian menjadi teks monumental Sumpah Pemuda, yang sampai hari ini kita peringati sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Biarlah para sejarawan yang menyampaikan kronologi sejarahnya seperti apa peristiwa tersebut. Saya takdzim dan mengikuti saja. Meminjam kalimat yang diucapkan pemuda Wakil Menteri Kebudayaan pemerintahan Prabowo Subianto, Giring Ganesha, bukan domisili –asli ngakak saya menulisnya– saya untuk menyampaikan kronologi sejarah itu di sini.
Yang jelas, seperti yang pernah saya baca, peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tersebut akhirnya menginspirasi banyak aktivis pemuda dan perkumpulan pemuda di Hindia Belanda, saat itu, untuk mengobarkan semangat persatuan yang sama. Salah satunya, seorang pemuda peranakan Arab yang berasal dari Ampel, Surabaya, berumur 26 tahun, yang menulis sebuah artikel berjudul “Peranakan Arab dan Totoknya”, yang diterbitkan Harian Matahari Semarang, pada 1 Agustus 1934.
Artikel tersebut memuat foto dirinya –sebagai peranakan Arab– memakai baju lurik Surjan dan menggunakan blangkon, sebagai ilustrasi. Pemuda itu bernama Abdurrahman bin Awad Baswedan, yang kemudian banyak disebut AR Baswedan.
Artikel yang ia tulis tersebut berisi anjuran tentang pengakuan Indonesia sebagai tanah air. Ia juga menyampaikan pokok-pokok pikiran bahwa tanah air Arab peranakan adalah Indonesia; Kultur Arab peranakan adalah kultur Indonesia–Islam; Nasionalisme Arab peranakan adalah Indonesia; Arab peranakan wajib bekerja untuk tanah air dan masyarakat Indonesia; Perlu didirikan organisasi politik khusus untuk Arab peranakan; Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan dalam masyarakat Arab; Jauhi kehidupan menyendiri dan sesuaikan dengan keadaan zaman dan masyarakat Indonesia.
Melalui harian Matahari pula, AR Baswedan secara rutin melontarkan pemikiran-pemikiran tentang pentingnya warga Arab peranakan bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bagi Indonesia. Majalah Tempo, dalam edisi khususnya “Seabad kebangkitan Nasional” yang terbit pada bulan Mei 2008 memasukkan artikel Ar Baswedan tersebut sebagai tulisan paling berpengaruh dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada 8 November 2018, pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional kepada AR Baswedan.
Pengaruh pemikiran dan perjuangan dari para tokoh pemuda pada masa pergerakan di era sebelum kemerdekaan yang seharusnya diteladani oleh pemuda generasi saat ini. Pemikiran literer yang menghasilkan gerakan revolusi yang pada akhirnya membuat negara ini bebas dari penjajahan. Negara merdeka dan berdaulat. Melalui literasi, pemuda mampu menciptakan perubahan dan pembangunan. Youth as agents of change in developing nation.
Namun apa lacur, Sumpah Pemuda kemudian diperingati, saat ini, oleh sebagian pemuda bangsa ini, secara salah kaprah. Hanya bermodal pakaian daerah yang dikenakan, entah menyewa atau beli dari toko online, dipadu dengan pita merah-putih sebagai ikat kepala, atau stiker merah-putih yang ditempel di wajah sebagai ornamen, mereka kemudian berjoget di depan kamera. Joget secara kompak, dan itu diklaim sebagai joget peringatan Sumpah Pemuda. Dan, mereka ini mengaku dirinya sebagai konten kreator alias influencer, yang jika dimaknai berarti orang yang memberikan pengaruh kepada orang lain.
Mungkin di beberapa sekolah masih ada yang menghadirkan perlombaan: menulis dan baca puisi; mengarang cerpen, bahkan menulis essai. Itu bagus. Ada pembangunan literasi di sana. Seperti yang dilakukan oleh Menteri Kebudayaan dan sang Wakilnya, pemuda ‘domisili’ yang juga merayakan dengan benar. Namun sebagian sekolah lainnya hanya mengadakan pawai dengan pakaian adat nasional: berkeliling di jalan, dadah-dadah dan berfoto.
Kemarin, sejak siang, sore, hingga malam, tiap kali buka YouTube, selalu ada atau muncul thumbnail peringatan Sumpah Pemuda pakai joget.
Jika ada yang berkata bahwa saya tidak berhak men-judge mereka, para pemuda itu, yang memperingati Sumpah Pemuda seperti itu, yang penting masih mengingat dan ada ‘semangat Sumpah Pemuda’nya, selebihnya tinggal diajari, ya memang ada benarnya. Lagi-lagi saya ingin menyampaikan ucapan dari pemuda Wakil Menteri Kebudayaan itu, bukan domisili –kata ini begitu addict, membuat saya enggan menulis domain– saya untuk menilainya.
Silahkan pemuda ‘domisili’ dan pemuda ‘influencer’ merayakan Sumpah Pemuda dengan cara mereka. Itu hak mereka. Para pemuda yang sama, yang joget Sumpah Pemuda dan ‘domisili’ itu pula, yang karena politik, waktu menjelang dan saat pilpres lalu, mengusir cucu dari pemuda yang menjadi pahlawan nasional: AR Baswedan; melalui sosial media mereka, sang cucu pahlawan itu disuruh balik pulang ke Yaman, suruh pindah dari Indonesia ke Arab. Padahal sang cucu juga menggelorakan perjuangan yang sama dengan sang kakek: pemuda sebagai agen perubahan, berjuang untuk nasionalisme, berjuang untuk perubahan menuju bangsa yang lebih baik.
Lagi-lagi, bukan domisili –shit!– saya untuk menghakimi. Apalagi menegur atau mencercanya. Meskipun, melihat hal itu –tentu saja– saya ‘nggrundel’ dalam hati. Sebagai orang Jawa Timur wilayah Tapal Kuda, mungkin ‘grundelan’ yang tidak pantas saya omongin untuk menilai para pemuda ‘domisi’ dan pemuda ‘joget’ tadi. Grundelan hati saya yang berbunyi: Pemuda Taek! [*]
*Oleh: Nadeem
(Kolumnis, Mantan Marbot Masjid)